Selasa
Dering alarm handphone milikku
membangunkanku tepat pukul 04.00. Jujur, sesudah bangun, aku meraih novel yang
ku pinjam dari temanku. Setelah membaca, aku bergegas mandi. Aku tidak shalat
subuh karena sedang ada halangannya. Pagi ini, aku berangkat tidak diantar
karena ayahku buru-buru berangkat kerja. Mama menawarkan untuk mengantarku,tapi
aku menolaknya. Ku pikir lebih baik Mama dirumah, jika mama mengantarkan aku ke
sekolah, pekerjaan mama dirumah akan terbengkalai mengingat aku tidak bisa
membantunya karena aku harus berangkat pagi disebabkan ada jam ke-0. Akhirnya
aku memutuskan untuk naik angkutan umum saja.
Sesampainya di sekolah, aku langsung
melirik jam yang terlilit di pergelangan tanganku. Pukul 06.00. Jam ke-0
dimulai pukul 06.15. Jadi aku masih mempunyai waktu 15 menit untuk kegiatan
bebas. Aku memilih untuk melanjutkan membaca novel. Tak lama, satu per satu
temanku mulai datang. Mereka saling bercengkerama dan tak jarang ada yang
bertanya padaku judul novel yang sedang aku baca.
Bel tanda jam ke-0 berbunyi.
Siswa-siswi yang berada di teras kelas mereka masing-masing bergegas masuk ke
dalam kelas. Mata pelajaran jam ke-0 hari ini adalah Bahasa Indonesia. Pada jam
tambahan ini, kelasku diampu oleh Pak Wawan. Bel sudah memberi isyarat sejak 5
menit yang lalu namun Pak Wawan belum juga datang. Sampai akhirnya Ibu Yani,
guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 9 datang menggantikan Pak Wawan.
“Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap Bu Yani.
“Waalaikumsalam
Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab kami serempak.
“Sekarang
jamnya Pak Wawan, betul?” tanya Bu Yani.
“Iya
betul, Bu,” jawab murid 9F.
Bu Puryani memberi kami tugas
tentang menyunting dari buku pendamping.
Namun, ada beberapa siswa berkedapatan tidak membawa buku pendamping,
termasuk teman sebangkuku, Bella yang
lebih sering kupanggil Ibel. Akhirnya aku dan Ibel mengerjakan tugas
bersama-sama.
Setelah selesai mengerjakan,
mulailah kami menelaah hasil pekerjaan kami didampingi Bu Yani. Kami hanya
dapat membahas 10 soal sampai bel tanda berakhirnya jam ke-0 berdering. 15
menit sebelum mulai pelajaran, ada kegiatan membaca buku selain buku pelajaran.
Kebetulan hari ini, Fia, teman sekelasku mengumpulkan cerpen karyanya. Pada
saat itu, Bu Yani berpendapat untuk membacakan cerpen milik Fia di depan
kelas. Dan kami berkata setuju. Tampak wajah Fia yang malu.
Jam pertama sampai ketiga hari ini
adalah PKN. Kami disuruh mengerjakan Review 2.1 dari buku pendamping milik Bu
Titik, guru prngampu mata pelajaran PKN kelas 9. Kami diberi waktu satu
jam pelajaran atau 40 menit untuk mengerjakan. Jam ketiga digunakan untuk
menambah materi. Bel tanda istirahat telah berbunyi. Siswa dari kelas lain
berhamburan keluar untuk jajan ke kantin atau sholat dhuha. Berbeda dengan
kelasku. Setelah selesai sholat dhuha, teman temanku langsung kembali ke kelas
tanpa membawa jajanan kantin. Istirahat pertama kali ini kami gunakan untuk
belajar IPS karena hari ini ada ulangan IPS di jam terakhir.
Setibanya di jam pelajaran IPS, aku
yang hari ini piket slempang memanggil Ibu Silviana yang kerap dipanggil
Bu Ana untuk memberi tahu bahwa kelas 9F sudah siap ulangan. Sampai di kelas, Bu Ana memberi waktu 15 menit untuk kembali mengingat materi. Saat soal
dibagikan, aku langsung mengecek soal yang telah diberikan dan mulai
mengerjakan seraya membaca basmalah.
“Yang
pilihan ganda tidak usah pakai kalimatnya,” jelas Bu Ana.
Setelah
selesai, Bu Ana menyuruh sholat karena jam istirahat digunakan untuk
mengerjakan ulangan dan jam istirahat diganti menjadi jam terakhir.
Aku dan temanku, Alya, berdiam di
kelas karena sedang berhalangan. Kurang lebih 15 menit, teman-temanku yang
laki-laki datang terlebih dahulu.
“Eh,
soal yang tadi lumayan susah,” ucap Fauzi.
“Iya,
aku bingung pas mau menjawab soal nomor 5 uraian. Aku nggak baca materi itu tadi,” sesal Nando.
Ahmat
yang sedari tadi diam, tiba-tiba mengagetkan
kami.
“Eh, cicak! Cicak!” seru Arda.
“Mana?
Eh Mana?” tanya Deni.
“Itu!
Itu nempel di dinding.” jawab Arda.
“Ya
iyalah, cicak kan sukanya nempel di dinding. Emang kamu pernah lihat cicak
nempel di air?” celoteh Deni.
“Udah,tembak
pakai karet aja!” perintah Nando.
“Bentar,
aku ambil senjata dulu, semoga belum hilang.” sahut Arda.
“Cepetan,
keburu cicaknya pergi.” pinta Deni.
“Iya,
tinggal tarik terus lepas aja lama amat,” sambung Nando tak sabar.
Seeettttt!!!
Suara karet melesat terdengar jelas di telingaku.
“Yahh!
Nggak kena.” jelas Arda.
Tanpa
berpikir panjang, Arda langsung mengambil buku tulis milik Andini yang berada
di atas meja lalu melemparkannyake arah cicak.
Alhasil cicak tersebut jatuh ke lantai dan dengan segera Arda menangkapnya.
“Yess,
dapat! Tunggu sebentar, aku mau buat sesuatu dulu,” kata Arda sembari keluar
kelas.
Tak
lama, Ahmat kembali lagi ke kelas dengan tali rafia kuning yang berada di
tangannya.
“Cicaknya
mana?” tanyaku.
“Itu,”
jawab Arda sambil menunjuk hewan kecil yang lehernya diikat tali rafia.
“Konyol
kamu, Da! Binatang kecil begitu kok bisa bisanya diikat lehernya?” tanggapku.
“Ini
itu langka, aku mau jadiin dia hewan peliharaanku di kelas saja.” jawab
Arda.
“Ya
kali dijadiin binatang peliharaan.” sambung Andi, si ketua kelas.
“Nggak
papa, jarang-jarang ada yang memelihara cicak,” sahut Arda.
Arda keluar dari kelas dan tak sengaja berpapasan dengan Bu Ana. Bu Ana melihat
Arda yang berjalan sambil menuntun cicak itu.
“Kenapa
kamu memperlakukan cicak seperti itu?” tanya Bu Ana.
“Hehe.
Maaf, Bu.” jawab Arda.
“Masuk
kelas, jangan lupa tali di leher cicaknya dilepas!” perintah Bu Ana.
Arda pun masuk kelas disusul Bu Ana. Kami pun lalu duduk di tempat duduk
masing-masing.
“Anak-anak,
ibu tahu kalian cuma bercanda, tapi jangan seperti itu. Arda, tidak baik
memperlakukan hewan seperti itu. Dosa, nak. Ibu tidak mau kejadian ini
terulang lagi. Kejadian ini tidak ibu laporkan ke wali kelas kalian. Ibu harap
ini untuk pertama dan terakhir. Satu lagi, kalian jangan gaduh! Kelas yang lain
sedang ada pelajaran, jangan karena kalian sudah selesai pelajaran, kalian
mengganggu,” tegas Bu Ana.
“Ya
Bu, saya meminta maaf atas perbuatan saya tadi. Saya janji tidak akan
mengulanginya lagi.” jawab Arda penuh sesal.
“Iya, Ibu maafkan. Tapi ingat, jangan diulang lagi!” pinta Bu Ana.
“Iya Bu, saya janji.” jawab Arda.
Bel pulang sekolah pun akhirnya
berbunyi. Bu Ana menyuruh kami berkemas-kemas lalu berdoa. Setelah Bu Ana keluar, tampak wajah menyesal Ahmat atas
perbuatannya. Kami menenangkan Arda agar perasaannya kembali stabil. Setelah
Arda mengtakan bahwa dia sudah baik-baik saja, kami bergegas pulang. Kejadian
hari selasa kali ini tidak bisa aku lupakan begitu saja.